Adanya peningkatan jumlah penerbangan yang ada di Indonesia membawa dampak positif terutama bagi para konsumen pengguna jasa penerbangan atau transportasi udara yaitu para penumpang akan memiliki banyak pilihan maskapai sehingga harga tiket pesawat udara akan menjadi lebih murah.
Adanya persaingan harga tiket murah antar perusahaan maskapai penerbangan sering berbanding terbalik dengan pelayanan yang diberikan. Agar mampu bersaing dan memberikan harga tiket yang murah, maka maskapai penerbangan akan melakukan efisiensi biaya dengan menurunkan kualitas pelayanannya. Yang sangat mengkhawatirkan adalah jika maskapai penerbangan tersebut mengurangi tingkat keselamatan penerbangan yaitu dengan adanya penurunan kualitas dan frekuensi pemeliharaan terhadap armada pesawat udaranya, yang nantinya akan sangat berdampak terhadap keselamatan dan kenyamanan penerbangan.
Disebutkan di dalam Undang –Undang No.1 tahun 2009 bahwa perusahaan maskapai penerbangan wajib mengangkut penumpang dengan aman dan selamat sampai di tempat tujuan secara tepat waktu. Sebagai imbalan atas jasanya maka perusahaan maskapai penerbangan akan mendapatkan bayaran sebagai ongkos penyelenggaraan maskapai penerbanganan penumpang. Apabila ada perusahaan maskapai penerbangan yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik dan benar maka dapat dikatakan telah melakukan “wanprestasi”. Beberapa contoh wanprestasi yang dilakukan oleh Perusahaan maskapai Penerbangan adalah tidak memberikan jaminan keselamatan kepada penumpang apabila terjadi kecelakaan pesawat udara yang menyebabkan para penumpang meninggal dunia atau cacat, keterlambatan penerbangan atau delay, penundaan penerbangan atau cancel flight, kehilangan atau kerusakan barang bagasi milik penumpang, pelayanan yang kurang memuaskan, dan lain –lain.
Terjadinya suatu wanprestasi yang dilakukan oleh karena maskapai penerbangan tidak memenuhi kewajibannya kepada para penumpang tentu saja akan melahirkan permasalahan hukum, khususnya yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab (Subekti, 1995).
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas maka terdapat beberapa masalah yang dapat diangkat. Diantaranya (1) Bagaimana perbandingan perlindungan hukum terhadap penumpang pada transportasi udara niaga di Indonesia dan Uni Eropa ? dan (2) Upaya apakah yang ditempuh oleh penumpang yang dirugikan oleh perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia dan Uni Eropa?
Perlindungan Hukum Penumpang Transportasi Udara Niaga di Indonesia
Perusahaan maskapai penerbangan dalam memenuhi kewajibannya kepada penumpang pesawat udara, khususnya di Indonesia, terkadang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain banyaknya kecelakaan pesawat yang berakibat kematian dan cacat, ternyata dalam praktik penyelenggaraan transportasi udara niaga banyak pelanggaran hak-hak penumpang oleh maskapai penerbangan, sehubungan dengan itu perlu adanya penegakan hukum.
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan didasari oleh suatu keadaan dimana dunia penerbangan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga undang undang yang telah ada dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 juga didasari oleh suatu keharusan untuk mentaati hukum internasional di bidang penerbangan. Indonesia merupakan salah satu negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization, disingkat ICAO) sebagaimana tercantum dalam konvensi Chicago 1944 beserta Annexes dan dokumen-dokumen teknis operasional serta konvensi-konvensi internasional terkait lainnya.
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 dikeluarkan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, khususnya mengenai keamanan dan keselamatan penerbangan.
(3) Tanggung Jawab Perusahaan Maskapai penerbanganan Udara Terhadap Penumpang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, maskapai penerbangan di Indonesia memiliki beberapa tanggung jawab terhadap penumpang, ketentuan ini diatur dalam Pasal 140 dan Pasal 141.
Tanggung jawab yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 di atas hanya menentukan bentuk-bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan sedangkan persyaratan untuk dapat dipertanggungjawabkan, cara penerapannya dan besaran ganti ruginya tidak diatur. Bentuk tanggung jawab perusahaan maskapai penerbanganan udara terdiri dari tanggung jawab terhadap kematian atau luka-luka penumpang.
Mengingat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 ketentuan tentang tanggung jawab maskapai penerbangan hanya bersifat pokok atau umum maka diperlukan aturan-aturan yang lebih jelas dan terinci, dengan demikian diperlukan pengaturan yang bersifat operasional atau secara lebih teknis. Sehubungan dengan itu maka di keluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga bentuk tanggung jawab perusahaan angkutan udara niaga, yaitu: Tanggung jawab terhadap penumpang; Tanggung jawab maskapai penerbangan terhadap barang dan Tanggung jawab terhadap keterlambatan.
Dalam Ordonansi Maskapai penerbanganan Udara 1939 ketentuan tentang tanggung jawab maskapai penerbangan termuat di dalam bab III, bab ini merupakan inti atau pokok-pokok dari peraturan ini. Menurut ketentuan Pasal 24 Ordonansi Maskapai penerbanganan Udara 1939 di atas ada dua bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan udara, yaitu tanggung jawab terhadap kematian dan tanggung jawab terhadap luka-luka yang dialami penumpang. Menurut Konvensi Warsawa 1929, para pihak yang dapat melakukan penuntutan adalah ahli waris yang sah dari korban yang meninggal dunia. Dengan demikian, ketentuan menurut ordonansi lebih sempit jika dibandingkan dengan Konvensi Warsawa.
Persyaratan Berlakunya Tanggung Jawab Perusahaan Maskapai penerbanganan Udara Sebagai Maskapai Penerbanganan
(1) Adanya Kecelakaan Pesawat Terbang.
Menurut Annex 13 Konvensi Chicago 1944 dikenal dua pengertian kecelakaan pesawat udara, yaitu kecelakaan (accident) dan kejadian (incident). Kecelakaan (accident) adalah suatu peristiwa yang terjadi di luar dugaan manusia yang berhubung dengan pengoperasian pesawat udara yang berlangsung sejak penumpang naik pesawat udara (boarding) dengan maksud melakukan penerbangan ke tempat tujuan sampai semua penumpang turun (de-embarkasi) dari pesawat di bandar udara. Pengertian kejadian atau insiden pesawat terbang adalah peristiwa selain kecelakaan yang terjadi selama penerbangan berlangsung yang berhubungan dengan pengoperasional yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan (Annex13 Konvensi Chicago 1944).
(2) Tanggung Jawab Perusahaan Maskapai Penerbanganan terhadap Keterlambatan Penerbangan
Secara harfiah keterlambatan berarti tidak tepat atau tidak sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, atau dapat juga diartikan kemunduran jadwal. Dikaitkan dengan kegiatan penerbangan, maka dapat dikemukakan bahwa keterlambatan penerbangan (delay) adalah suatu keadaan dimana penerbangan tidak sesuai dengan waktu keberangkatan pesawat dari Bandar udara menuju Bandar udara tujuan. Dalam sejarah penerbangan di negeri ini tidak banyak perkara di pengadilan yang berkaitan dengan keterlambatan penerbangan.
Upaya Hukum Ditempuh oleh Penumpang yang Mengalami Kerugian di Indonesia.
(1) Ganti rugi dalam hal terjadi kecelakaan pesawat
Mengenai besarnya ganti rugi sehubungan dengan luka-luka atau meninggalnya penumpang di atur dalam pasal 30 OPU 1939 yang menyatakan: (1) Pada maskapai penerbanganan penumpang tanggung jawab maskapai penerbangan terhadap tiap-tiap penumpang atau terhadap keluarganya seluruhnya yang disebut dalam pasal 24 ayat (2), dibatasi sampai jumlah 12.500 gulden. Bila ganti rugi ditetapkan sebagai bunga, maka jumlah uang pokok yang dibungakan itu tak boleh melebihi jumlah tersebut di atas. Akan tetapi penumpang dapat mengadakan perjanjian khusus dengan maskapai penerbangan untuk meninggikan batas tanggung-jawab itu. Dalam perkembangan kegiatan transportasi udara niaga ketentuan Pasal 30Ordonansi Maskapai Penerbanganan Udara 1939 tersebut telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011.
(2) Ganti Rugi Terhadap Keterlambatan Penerbangan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 selain mengatur tanggung jawab perusahaan maskapai penerbanganan udara terhadap penumpang berkenaan dengan kematian atau luka-luka penumpang dan tanggung jawab terhadap barang, yang mana undang-undang menentukan besaran nilai ganti ruginya, di dalam peraturan ini juga diatur tanggung jawab perusahaan maskapai penerbanganan udara terhadap keterlambatan penerbangan.
Di dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 tahun 2015 pada pasal 2 dijelaskan bahwa keterlambatan penerbangan pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal terdiri dari: keterlambatan penerbangan (flight delayed); tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passenger); dan pembatalan penerbangan (cancelation of flight).
Pada pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 tahun 2015 keterlambatan penerbangan dikelompokkan menjadi 6 kategori keterlambatan.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan keterlambatan suatu penerbangan. Adapun penyebab keterlambatan menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 tahun 2015 yaitu: faktor manajemen airline, faktor teknis operasional, faktor cuaca, dan faktor lain-lain.
(3) Perlindungan Asuransi bagi Penumpang
Secara yuridis asuransi penerbangan pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.
(4) Penyelesaian Sengketa Konsumen
Penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pada Pasal 45.
(5) Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan
Ketentuan mengenai penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, diatur pada Pasal 47. Dalam memilih penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat dilakukan melalui beberapa model penyelesaian sengketa, diantranya melalui Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, atau melalui Direktorat Perlindungan Konsumen atau lokasi-lokasi lain baik untuk kedua belah pihak yang telah disetujui.
(6) Penyelesaian Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
BPSK adalah institusi non struktural yang memiliki fungsi sebagai “institusi yang menyelesaikan permasalahan konsumen di luar pengadilan secara murah, cepat dan sederhana”. Badan ini sangat penting dibutuhkan di daerah dan kota di seluruh Indonesia.
(7) Perlindungan Hukum Penumpang Transportasi Udara Niaga di Negara –negara Uni Eropa.
Perlindungan hukum terhadap para penumpang transportasi undara niaga di negara Uni Eropa diatur di dalam EC Regulation 261/2004. Peraturan Komisi Eropa 261/2004 berlaku untuk penumpang yang memiliki tiket yang masih berlaku dan konfirmasi pemesanan, penumpang yang memulai perjalanan mereka di bandara Uni Eropa, atau mendarat di bandara Uni Eropa, asalkan maskapai tersebut berkantor pusat di Uni Eropa.
Peraturan Uni Eropa diberlakukan untuk melindungi penumpang dari ketidaknyamanan yang disebabkan oleh waktu tunggu yang lama atau pembatalan penerbangan, yang dapat dicegah oleh maskapai penerbangan. Ini adalah putusan yang dinyatakan secara lengkap: “Regulation (EC) No 261/2004 of the European Parliament and of the Council of 11 February 2004 menetapkan aturan umum tentang kompensasi dan bantuan untuk penumpang dalam hal penolakan boarding dan pembatalan atau penundaan penerbangan yang lama. penundaan penerbangan.”
Peraturan UE 261/2004 berkaitan dengan hak penumpang yang mengalami penundaan atau pembatalan penerbangan, over booking atau ditolak boarding.
Penumpang di Uni Eropa berhak atas kompensasi dalam kasus-kasus seperti penundaan, pembatalan, overbooking, dan ketinggalan penerbangan lanjutan. Jumlah kompensasi tergantung pada jarak penerbangan –bukan pada jumlah yang penumpang bayarkan untuk tiket.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa penumpang benar-benar memiliki klaim kompensasi yang valid. Solusi logisnya adalah membuat klaim kompensasi penumpang dengan flight right. Penumpang hanya perlu memasukkan detail penerbangan ke dalam kalkulator kompensasi gratis, konfirmasikan bahwa penumpang memiliki klaim yang valid terhadap maskapai, dan airline akan mengurus sisanya.
Mulai 1 Januari 2021, aturan Uni Eropa tentang hak penumpang udara tidak berlaku untuk kasus penolakan boarding, pembatalan, atau penundaan penerbangan dari Inggris ke UE jika penerbangan dioperasikan oleh maskapai Inggris atau maskapai non-UE lainnya, bahkan jika penumpang memesan penerbangan sebelum tanggal ini. Namun, aturan UE terus berlaku mulai 1 Januari 2021 jika penerbangan Anda dari Inggris ke UE dioperasikan oleh maskapai UE, kecuali penumpang telah menerima kompensasi atau tunjangan berdasarkan undang-undang Inggris.
Uni Eropa berarti 27 negara Uni Eropa, termasuk Guadeloupe, Guyana Prancis, Martinik, Pulau RĂ©union, Mayotte, Saint-Martin (Antillen Prancis), Azores, Madeira, dan Kepulauan Canary (tetapi bukan Kepulauan Faeroe). Aturan Uni Eropa juga berlaku untuk penerbangan ke dan dari Islandia.
Peraturan Uni Eropa saat ini mencakup semua moda transportasi dan terdiri dari undang-undang khusus moda untuk perjalanan melalui udara, kereta api, lintas air, bus, dan pelatih. Sepuluh hak inti, yang ditemukan dalam Komunikasi Komisi tentang visi Eropa untuk penumpang yang diadopsi pada tahun 2011, didasarkan pada tiga prinsip: non-diskriminasi; informasi yang akurat, tepat waktu dan dapat diakses; bantuan segera dan proporsional.
Pada tahun 2018, Pengadilan Auditor Eropa telah merekomendasikan harmonisasi dan penyederhanaan lebih lanjut kerangka kerja Uni Eropa tentang hak-hak penumpang. Dalam Strategi Mobilitas Berkelanjutan dan Cerdasnya, Komisi juga telah berkomitmen untuk meninjau peraturan yang ada untuk memastikan ketahanannya terhadap gangguan perjalanan yang luas dan menyertakan opsi untuk tiket multimoda. Selain itu, hak penumpang penyandang disabilitas dan penyandang disabilitas juga merupakan tindakan yang tercantum dalam Strategi Disabilitas UE 2021-2030.
Jika penumpang tidak puas dengan tanggapan maskapai, maka dapat meneruskan klaim kompensasi ke National Enforcement Body, yang akan mencari penyelesaian dengan maskapai atas nama penumpang.
Dalam hukum positif Indonesia terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan hukum terhadap penumpang transportasi udara niaga berjadwal, peraturan tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan, Ordonansi Penerbangan 1939 atau OPU 1939;Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara; Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang keamanan dan keselamatan Penerbangan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 tahun 2015. Demikian juga dengan Negara Uni Eropa, juga terdapat peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan hukum terhadap penumpang transportasi udara niaga berjadwal, peraturan tersebut adalah EC Regulation 261/2004.
Terhadap penumpang transportasi udara di Indonesia yang merasa atau mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan atau klaim kepada perusahaan penerbangan, penyelesaian gugatan atau sengketa dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu jalur pengadilan dan jalur di luar pengadilan. Kedua model penyelesaian sengketa tersebut diakui di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen bebas untuk memilih model penyelesaian sengketanya. Di Uni Eropa penumpang transportasi udara yang mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan atau klaim kepada perusahaan penerbangan, penyelesaian gugatan atau sengketa dapat ditempuh melalui National Enforcement Body.
Perlindungan hukum terhadap pengguna jasa transportasi di Indonesia dengan Uni Eropa hampir sama, yang berbeda hanya jumlah uang atau jenis barang kompensasi yang harus diberikan kepada penumpang yang dirugikan oleh maskapai penerbangan.
Dalam rangka untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap pengguna jasa transportasi maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang kegiatan penerbangan, sebab produk-produk hukum yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Selain faktor usia peraturan hal mendesak untuk dilakukan perbaikan adalah aturan mengenai jumlah nilai ganti rugi, sebab nilai ganti rugi yang ditentukan di dalam undang-undang di Indonesia sangat kecil, kemudian undang-undang tidak secara tegas memberikan sanksi hukum bagi maskapai penerbangan yang melakukan penundaan penerbangan. Untuk itu diperlukan aturan sanksi bagi maskapai penerbangan yang menunda penerbangan tanpa alasan yang jelas yang dibenarkan oleh undang-undang.
Di Indonesia prosedur untuk mengajukan kompensasi terhadap klaim penumpang masih kurang jelas dan tidak ada badan yang membantu konsumen apabila pihak maskapai mangkir dalam membayar uang kompensasi terhadap klaim penumpang. Di Indonesia perlu ada suatu badan/lembaga yang fungsinya mirip seperti National Enforcement Body yang mampu memberikan jaminan law enforcement kepada maskapai yang mangkir terhadap kewajibannya kepada klaim penumpang yang merasa dirugikan.
Penulis: I Gde Oka Suparyana (Inspektur Navigasi Penerbangan)
Gambar oleh appinventiv dan shutterstock/peopleimages-yuri a