Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah memplokamirkan diri sebagai negara yang berprinsip “bebas” dan “aktif” dalam menjalin hubungan dengan bangsa lainnya di dunia. Dalam bahasa sederhana prinsip “bebas dan aktif” dapat dimaknai sebagai sikap “netral”. Kebijakan “bebas” dan “aktif” mengacu pada pendekatan diplomasi yang mendorong negara-negara untuk menjaga kedaulatan, kebebasan, dan kepentingan nasionalnya dengan terus bekerja sama dan bermitra dengan berbagai negara tanpa ekstremisme atau bergabung dengan satu blok kekuatan. (Sabir, 1987)
Prinsip “bebas aktif” sebagai sumber politik luar negeri Indonesia telah dianut sejak awal kemerdekaan. Prinsip ini masih digunakan hingga saat ini dan sering dijadikan acuan dalam mengukur kebijakan luar negeri Indonesia. (Haryanto, 2015). “Bebas” berarti bahwa masyarakat Indonesia mempunyai hak untuk menjalin hubungan kerja sama dengan bangsa atau negara manapun di dunia, dan “Aktif” berarti Indonesia senantiasa berupaya untuk aktif dalam menciptakan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pada alinea keempat Pembukaan UUD (1945) dan Pasal 11 UUD (1945).
Kebijakan “bebas” dan “aktif” ini merupakan ujian atas kearifan para diplomat Indonesia terdahulu yang memiliki pengalaman pahit dan getir dalam menghadapi negara-negara besar. Secara filosofis, Indonesia dinilai sebagai negara yang cinta perdamaian namun lebih mencintai kemerdekaan. Persaingan antar kekuatan dunia dipandang sebagai perilaku masing-masing negara yang mementingkan diri sendiri (self-centered), mengabaikan kesulitan yang ditimbulkannya bagi pihak lain, terutama negara-negara kecil (smaller country). (Mochamad Yani & Montratama, 2017)
Dalam perspektif pembanguan ekonomi dunia dengan adanya prinsip “bebas” dan “aktif” yang dimiliki Indonesia tentunya akan mempermudah bagi negara lain dalam mengambil sikap atau keputusan terkait hubungan kerjasama dengan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan negara di dunia telah mengetahui sejak awal platform yang diusung Indonesia ketika menghadapi beragam konfik dalam segala bidang yang terjadi di belahan bumi manapun.
Lebih spesifik dalam rangka pembangunan dunia, Indonesia ingin mendorong dan meningkatkan peran negara-negara sentral di dunia. Poin pertama Nawacita Jokowi menyatakan bahwa “Kita akan memperkuat peran Indonesia dalam kerja sama global dan regional untuk membangun saling pengertian antar peradaban, memajukan demokrasi dan perdamaian dunia, meningkatkan kerja sama pembangunan selatan-selatan dan mengatasi permasalahan global yang mengancam kemanusiaan. (Larasasati & Desy Natasya, 2017)
Terkait dengan pembangunan nasional, Jokowi selaku presiden berkeinginan Indonesia menjadi poros maritim dunia, maka untuk mewujudkan cita-cita tersebut paling tidak beberapa kekuatan dibidang kelautan yang mendukung harus dimiliki Indonesia. Kekuatan dimaksud antara lain keuangan dan regulasi kuat dibidang kelautan seperti negara Inggris, industri galangan kapal berkelas dunia seperti di Korea Sealatan, komunikasi Sea Lines of Communications/SLOCs seperti Amerika Serikat atau seperti Singapura sebagai negara operator pelabuhan terbesar di dunia (BAPPENAS, 2015). Tentunya apa yang menjadi keinginan Indonesia untuk memajukan pembangunan di dalam maupun luar negeri akan dengan mudah tercapai apabila Indonesia tampil dan berperan serta memiliki daya tawar dalam kancah pembangunan ekonomi dunia.
Prinsip politik luar negeri “bebas” dan “aktif” serta kemauan kuat Indonesia untuk berperan dalam percaturan politik, ekonomi sosial dan budaya dunia, maka Indonesia berupaya lebih aktif memperlihatkan eksistensinya kepada dunia luar dengan selalu tampil dalam berbagai acara internasional. Selain selalu berpartisipasi dalam berbagai acara internasional, Indonesia juga pro aktif berusaha menjadi tuan rumah bagi berbagai acara internasional.
Indonesia secara konsisten turut serta dalam upaya memajukan perekonomian dunia dengan berusaha menjadi jembatan atau mediator antar negara di dunia dalam melaksanakan hubungan bilateral mereka. Salah satu upaya tersebut diantaranya adalah dengan menarik berbagai agenda kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya yang berskala internasional agar diadakan di Indonesia. Dalam hal ini Indonesia ingin menjadi penghubung antar negara dalam mewujudkan perdamaian dan membangun dunia ke arah yang lebih baik.
Banyak acara yang bertaraf nasional maupun internasional dalam berbagai bidang yang diselenggarakan Indonesia berjalan sukses dan memberikan dampak positif yang sangat signifikan terhadap kemajuan pembangunan di Indonesia khususnya, mulai dari seminar, workshop, perlombaan, festival, pertemuan bilateral, hingga konferensi tingkat tinggi.
Beberapa acara internasional yang sukses digelar Indonesia dan telah menjadi perhatian dunia diantaranya: Indonesia Masters, WSBK Indonesia, MotoGP Mandalika, Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC), G20 Indonesia, KTT ASEAN, Samosir Music International, World Water Forum dan masih banyak lainnya.
Pulau Bali yang terkenal akan keindahan alamnya serta keramahan penduduknya telah menjadi langganan sebagai tempat atau lokasi diselenggarakannya berbagai acara nasional maupun internasional tersebut. Selain dikarenakan fasilitas yang telah memadai, harus diakui pesona pulau Bali menjadi daya tarik tersendiri sebagai bahan pertimbangan pemilihan lokasi digelarnya acara.
Adapun kesuksesan dalam menyelenggarakan berbagai acara yang berskala nasional dan internasional di Bali tidak lepas dari kerjasama semua pihak yang terlibat dalam upaya menyukseskan acara tersebut.
Pihak yang terlibat dan berperan dalam penyelenggaraan acara nasional maupun internasional di Bali salah satunya adalah keberadaan Liaison Organizer (LO). Liaison Organizer (LO) atau yang biasa disebut dengan sebutan LO, merupakan bagian dari Event Organizer (EO) dimana LO bertanggung jawab langsung terhadap para tamu atau delegasi yang menjadi pembicara pada acara tersebut, bisa dibilang LO bertanggung jawab atas segala keperluan para tamu atau delegasi tersebut. Dalam berbagai acara tersebut Liaison Organizer (LO) bertindak sebagai bagian dari panitia kegiatan, jadi perannya sangat vital dalam mengatur kelancaran setiap tahapan agenda kegiatan.
Dikarenakan acara yang digelar bertaraf nasional atau internasional, maka berdasarkan pengamatan dan pengalaman peneliti sebagaian besar tamu atau delegasi yang hadir datang melalui bandara dan sebagian disambut dengan upacara kenegaraan. Terkait dengan hal itulah Liaison Organizer (LO) yang bertindak sebagai bagian dari kepanitiaan berkewajiban turut mengatur proses penyambutan atau penjeputan para tamu atau delegasi di bandara.
Untuk mempermudah kerja atau aktivitasnya selama pergelaran acara nasional maupun internasional, maka sudah dapat dipastikan Liaison Organizer (LO) sangat membutuhkan dukungan bandara. Oleh karena itu pihak Liaison Organizer (LO) memerlukan izin agar bisa masuk dan beraktivitas di dalam bandara, dimana izin masuk bandara tersebut disebut pas bandara.
Untuk mendapatkan pas bandara, Liaison Organizer (LO) harus mengajukan permohonan penerbitan pas bandara kepada Kantor Otoritas Bandara Wilayah IV selaku pihak yang memiliki wewenang menerbitkan pas bandara sebagaimana diatur dalam Peraturan Kementerian Perhubungan. (PM 33 Th. 2015)
Terkait dengan penerbitan pas bandara untuk acara nasional maupun internasional itulah berdasarkan pengamatan dan pengalaman dilapangan yang dilakukan oleh peneliti ditemukan permasalahan yang perlu dicarikan solusi agar proses penerbitan pas bandara dimaksud sesuai regulasi yang ada.
Salah satu permasalahan yang berhasil diidentifikasi oleh peneliti adalah adanya “diskresi” yang yang seringkali diambil dalam proses penerbitan pas bandara bagi kegiatan atau acara kenegaraan yang bersifat nasional maupun internasional. Diskresi dimaksud misalnya dalam hal pemenuhan persyaratan penerbitan pas bandara.
Prinsip diskresi sebagai prinsip yang ditetapkan dalam sistem hukum negara ini adalah fleksibilitas dalam penerapan fleksibilitas (Garner, 2004) (konstitusi fleksibel adalah konstitusi dengan sedikit atau tanpa prosedur amandemen). Pelayanan kepada masyarakat atau badan hukum, sehingga gambaran model dan pemahaman hukum formal belum sepenuhnya terwujud, namun disisi lain aspek hukum positif dalam kaitannya dengan pemberian izin juga harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. (Sarira, 2011)
Menurut pakar hukum Saut P. Panjaitan, diskresi (pouvoir diskresinaire, Perancis) atau Freies Ermessen (Jerman) merupakan suatu jenis penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wetmatigheid van bestuur, sehingga merupakan “pengecualian” terhadap asas legalitas. Menurut Prof. Benyamin, diskresi diartikan sebagai kebebasan pejabat untuk mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dengan demikian, menurut dia, setiap pejabat mempunyai diskresi. (Yulikhsan, 2016).
Bersambung >>
Oleh p4pjo
Untuk baca lengkap download jurnalnya dengan Klik Sini
Diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Cakrawarti