Tampilkan postingan dengan label jurnal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jurnal. Tampilkan semua postingan
Banyaknya kejadian pemalsuan pas Bandara menimbulkan resiko ancaman terhadap keamanan penerbangan yang dapat berakibat terjadinya tindakan melawan hukum penerbangan, untuk itu dibutuhkan penegakan hukum dalam rangka memberikan efek jera sekaligus mewujudkan kepastian hukum kepada para pelaku pemalsuan pas Bandara. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kewenangan Kantor Otoritas Bandara Wilayah IV dalam penegakan hukum terhadap pemalsuan pas Bandara, serta faktor apa yang menjadi penghambat penegakan hukum terhadap pemalsuan pas Bandara, tujuan penelitian adalah, pertama mengetahui kewenangan Kantor Otoritas Bandara Wilayah IV dalam penegakan hukum terhadap pemalsuan pas Bandara, kedua mengetahui faktor yang menghambat penegakan hukum pemalsuan pas Bandara. Pendekatan penelitian adalah yuridis normatif, Pendekatan yuridis normatif mencoba untuk memahami hukum dari perspektif teoritis dan filosofis. Penelitian melibatkan analisis terhadap berbagai sumber hukum seperti konstitusi, undang-undang, putusan pengadilan, doktrin hukum, dan pendapat para ahli hukum. Adapun hasil penelitian ini adalah pertama, kewenangan Kantor Otoritas Bandara Wilayah IV dalam penegakan hukum terhadap pemalsuan pas Bandara belum terlaksana maksimal, dibuktikan Kantor Otoritas Bandara Wilayah IV belum pernah melakukan penindakan hingga ke pengadilan terhadap pemalsuan pas Bandara. Kedua, faktor yang menghambat penegakan hukum pemalsuan pas Bandara yaitu bahwa Kantor Otoritas Bandara Wilayah IV belum memiliki kewenangan penyidikan terkait tindak pidana pemalsuan pas bandara.


Untuk membaca selanjutnya silakan download jurnal dengan klik sini atau klik icon pdf




Jurnal ini telah diterbitkan di Jurnal Raad Kertha
Universitas Mahendradatta Denpasar Bali

Category: articles
Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah memplokamirkan diri sebagai negara yang berprinsip “bebas” dan “aktif” dalam menjalin hubungan dengan bangsa lainnya di dunia. Dalam bahasa sederhana prinsip “bebas dan aktif” dapat dimaknai sebagai sikap “netral”. Kebijakan “bebas” dan “aktif” mengacu pada pendekatan diplomasi yang mendorong negara-negara untuk menjaga kedaulatan, kebebasan, dan kepentingan nasionalnya dengan terus bekerja sama dan bermitra dengan berbagai negara tanpa ekstremisme atau bergabung dengan satu blok kekuatan. (Sabir, 1987)

Prinsip “bebas aktif” sebagai sumber politik luar negeri Indonesia telah dianut sejak awal kemerdekaan. Prinsip ini masih digunakan hingga saat ini dan sering dijadikan acuan dalam mengukur kebijakan luar negeri Indonesia. (Haryanto, 2015). “Bebas” berarti bahwa masyarakat Indonesia mempunyai hak untuk menjalin hubungan kerja sama dengan bangsa atau negara manapun di dunia, dan “Aktif” berarti Indonesia senantiasa berupaya untuk aktif dalam menciptakan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pada alinea keempat Pembukaan UUD (1945) dan Pasal 11 UUD (1945).

Kebijakan “bebas” dan “aktif” ini merupakan ujian atas kearifan para diplomat Indonesia terdahulu yang memiliki pengalaman pahit dan getir dalam menghadapi negara-negara besar. Secara filosofis, Indonesia dinilai sebagai negara yang cinta perdamaian namun lebih mencintai kemerdekaan. Persaingan antar kekuatan dunia dipandang sebagai perilaku masing-masing negara yang mementingkan diri sendiri (self-centered), mengabaikan kesulitan yang ditimbulkannya bagi pihak lain, terutama negara-negara kecil (smaller country). (Mochamad Yani & Montratama, 2017)

Dalam perspektif pembanguan ekonomi dunia dengan adanya prinsip “bebas” dan “aktif” yang dimiliki Indonesia tentunya akan mempermudah bagi negara lain dalam mengambil sikap atau keputusan  terkait hubungan kerjasama dengan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan negara di dunia telah mengetahui sejak awal platform yang diusung Indonesia ketika menghadapi beragam konfik dalam segala bidang yang terjadi di belahan bumi manapun.

Lebih spesifik dalam rangka pembangunan dunia, Indonesia ingin mendorong dan meningkatkan peran negara-negara sentral di dunia. Poin pertama Nawacita Jokowi menyatakan bahwa “Kita akan memperkuat peran Indonesia dalam kerja sama global dan regional untuk membangun saling pengertian antar peradaban, memajukan demokrasi dan perdamaian dunia, meningkatkan kerja sama pembangunan selatan-selatan dan mengatasi permasalahan global yang mengancam kemanusiaan. (Larasasati & Desy Natasya, 2017)

Terkait dengan pembangunan nasional, Jokowi selaku presiden berkeinginan Indonesia menjadi poros maritim dunia, maka untuk mewujudkan cita-cita tersebut paling tidak beberapa kekuatan dibidang kelautan yang mendukung harus dimiliki Indonesia. Kekuatan dimaksud antara lain keuangan dan regulasi kuat dibidang kelautan seperti negara Inggris, industri galangan kapal berkelas dunia seperti di Korea Sealatan, komunikasi Sea Lines of Communications/SLOCs seperti Amerika Serikat atau seperti Singapura sebagai negara operator pelabuhan terbesar di dunia (BAPPENAS, 2015). Tentunya apa yang menjadi keinginan Indonesia untuk memajukan pembangunan di dalam maupun luar negeri akan dengan mudah tercapai apabila Indonesia tampil dan berperan serta memiliki daya tawar dalam kancah pembangunan ekonomi dunia.

Prinsip politik luar negeri “bebas” dan “aktif” serta kemauan kuat Indonesia untuk berperan dalam percaturan politik, ekonomi sosial dan budaya dunia, maka Indonesia berupaya lebih aktif memperlihatkan eksistensinya kepada dunia luar dengan selalu tampil dalam berbagai acara internasional. Selain selalu berpartisipasi dalam berbagai acara internasional, Indonesia juga pro aktif berusaha menjadi tuan rumah bagi berbagai acara internasional. 

Indonesia secara konsisten turut serta dalam upaya memajukan perekonomian dunia dengan berusaha menjadi jembatan atau mediator antar negara di dunia dalam melaksanakan hubungan bilateral mereka. Salah satu upaya tersebut diantaranya adalah dengan menarik berbagai agenda kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya yang berskala internasional agar diadakan di Indonesia. Dalam hal ini Indonesia ingin menjadi penghubung antar negara dalam mewujudkan perdamaian dan membangun dunia ke arah yang lebih baik.

Banyak acara yang bertaraf nasional maupun internasional dalam berbagai bidang yang diselenggarakan Indonesia berjalan sukses dan memberikan dampak positif yang sangat signifikan terhadap kemajuan pembangunan di Indonesia khususnya, mulai dari seminar, workshop, perlombaan, festival, pertemuan bilateral, hingga konferensi tingkat tinggi. 

Beberapa acara internasional  yang sukses digelar Indonesia dan telah menjadi perhatian dunia diantaranya: Indonesia Masters, WSBK Indonesia, MotoGP Mandalika, Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC), G20 Indonesia, KTT ASEAN, Samosir Music International, World Water Forum dan masih banyak lainnya.

Pulau Bali yang terkenal akan keindahan alamnya serta keramahan penduduknya telah menjadi langganan sebagai tempat atau lokasi diselenggarakannya berbagai acara nasional maupun internasional tersebut. Selain dikarenakan fasilitas yang telah memadai, harus diakui pesona pulau Bali menjadi daya tarik tersendiri sebagai bahan pertimbangan pemilihan lokasi digelarnya acara.

Adapun kesuksesan dalam menyelenggarakan berbagai acara yang berskala nasional dan internasional di Bali tidak lepas dari kerjasama semua pihak yang terlibat dalam upaya menyukseskan acara tersebut. 
Pihak yang terlibat dan berperan dalam penyelenggaraan acara nasional maupun internasional di Bali salah satunya adalah keberadaan Liaison Organizer (LO). Liaison Organizer (LO) atau yang biasa disebut dengan sebutan LO, merupakan bagian dari Event Organizer (EO) dimana LO bertanggung jawab langsung terhadap para tamu atau delegasi yang menjadi pembicara pada acara tersebut, bisa dibilang LO bertanggung jawab atas segala keperluan para tamu atau delegasi tersebut. Dalam berbagai acara tersebut Liaison Organizer (LO) bertindak sebagai bagian dari panitia kegiatan, jadi perannya sangat vital dalam mengatur kelancaran setiap tahapan agenda kegiatan. 

Dikarenakan acara yang digelar bertaraf nasional atau internasional, maka berdasarkan pengamatan dan pengalaman peneliti sebagaian besar tamu atau delegasi yang hadir datang melalui bandara dan sebagian disambut dengan upacara kenegaraan. Terkait dengan hal itulah Liaison Organizer (LO) yang bertindak sebagai bagian dari kepanitiaan berkewajiban turut mengatur proses penyambutan atau penjeputan para tamu atau delegasi di bandara. 

Untuk mempermudah kerja atau aktivitasnya selama pergelaran acara nasional maupun internasional, maka sudah dapat dipastikan Liaison Organizer (LO) sangat membutuhkan dukungan bandara. Oleh karena itu pihak Liaison Organizer (LO) memerlukan izin agar bisa masuk dan beraktivitas di dalam bandara, dimana izin masuk bandara tersebut disebut pas bandara.

Untuk mendapatkan pas bandara, Liaison Organizer (LO) harus mengajukan permohonan penerbitan pas bandara kepada Kantor Otoritas Bandara Wilayah IV selaku pihak yang memiliki wewenang menerbitkan pas bandara sebagaimana diatur dalam Peraturan Kementerian Perhubungan. (PM 33 Th. 2015)

Terkait dengan penerbitan pas bandara untuk acara nasional maupun internasional itulah berdasarkan pengamatan dan pengalaman dilapangan yang dilakukan oleh peneliti ditemukan permasalahan yang perlu dicarikan solusi agar proses penerbitan pas bandara dimaksud sesuai regulasi yang ada.

Salah satu permasalahan yang berhasil diidentifikasi oleh peneliti adalah adanya “diskresi” yang yang seringkali diambil dalam proses  penerbitan pas bandara bagi kegiatan atau acara kenegaraan yang bersifat nasional maupun internasional. Diskresi dimaksud misalnya dalam hal pemenuhan  persyaratan penerbitan pas bandara.

Prinsip diskresi sebagai prinsip yang ditetapkan dalam sistem hukum negara ini adalah fleksibilitas dalam penerapan fleksibilitas (Garner, 2004) (konstitusi fleksibel adalah konstitusi dengan sedikit atau tanpa prosedur amandemen). Pelayanan kepada masyarakat atau badan hukum, sehingga gambaran model dan pemahaman hukum formal belum sepenuhnya terwujud, namun disisi lain aspek hukum positif dalam kaitannya dengan pemberian izin juga harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. (Sarira, 2011)

Menurut pakar hukum Saut P. Panjaitan, diskresi (pouvoir diskresinaire, Perancis) atau Freies Ermessen (Jerman) merupakan suatu jenis penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wetmatigheid van bestuur, sehingga merupakan “pengecualian” terhadap asas legalitas. Menurut Prof. Benyamin, diskresi diartikan sebagai kebebasan pejabat untuk mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dengan demikian, menurut dia, setiap pejabat mempunyai diskresi. (Yulikhsan, 2016).

Bersambung >>


Oleh p4pjo

Untuk baca lengkap download jurnalnya dengan Klik Sini
Diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Cakrawarti
Category: articles
A
danya peningkatan jumlah penerbangan yang ada di Indonesia membawa dampak positif terutama bagi para konsumen pengguna jasa penerbangan atau transportasi udara yaitu para penumpang akan memiliki banyak pilihan maskapai sehingga harga tiket pesawat udara akan menjadi lebih murah.

Adanya persaingan harga tiket murah antar perusahaan maskapai penerbangan sering berbanding terbalik dengan pelayanan yang diberikan. Agar mampu bersaing dan memberikan harga tiket yang murah, maka maskapai penerbangan akan melakukan efisiensi biaya dengan menurunkan kualitas pelayanannya. Yang sangat mengkhawatirkan adalah jika maskapai penerbangan tersebut mengurangi tingkat keselamatan penerbangan yaitu dengan adanya penurunan kualitas dan frekuensi pemeliharaan terhadap armada pesawat udaranya, yang nantinya akan sangat berdampak terhadap keselamatan dan kenyamanan penerbangan.

Disebutkan di dalam Undang –Undang No.1 tahun 2009 bahwa perusahaan maskapai penerbangan wajib mengangkut penumpang dengan aman dan selamat sampai di tempat tujuan secara tepat waktu. Sebagai imbalan atas jasanya maka perusahaan maskapai penerbangan akan mendapatkan bayaran sebagai ongkos penyelenggaraan maskapai penerbanganan penumpang. Apabila ada perusahaan maskapai penerbangan yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik dan benar maka dapat dikatakan telah melakukan “wanprestasi”. Beberapa contoh wanprestasi yang dilakukan oleh Perusahaan maskapai Penerbangan adalah tidak memberikan jaminan keselamatan kepada penumpang apabila terjadi kecelakaan pesawat udara yang menyebabkan para penumpang meninggal dunia atau cacat, keterlambatan penerbangan atau delay, penundaan penerbangan atau cancel flight, kehilangan atau kerusakan barang bagasi milik penumpang, pelayanan yang kurang memuaskan, dan lain –lain.

Terjadinya suatu wanprestasi yang dilakukan oleh karena maskapai penerbangan tidak memenuhi kewajibannya kepada para penumpang tentu saja akan melahirkan permasalahan hukum, khususnya yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab (Subekti, 1995).

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas maka terdapat beberapa masalah yang dapat diangkat. Diantaranya (1) Bagaimana perbandingan perlindungan hukum terhadap penumpang pada transportasi udara niaga di Indonesia dan Uni Eropa ? dan (2) Upaya apakah yang ditempuh oleh penumpang yang dirugikan oleh perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia dan Uni Eropa?

Perlindungan Hukum Penumpang Transportasi Udara Niaga di Indonesia

Perusahaan maskapai penerbangan dalam memenuhi kewajibannya kepada penumpang pesawat udara, khususnya di Indonesia, terkadang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain banyaknya kecelakaan pesawat yang berakibat kematian dan cacat, ternyata dalam praktik penyelenggaraan transportasi udara niaga banyak pelanggaran hak-hak penumpang oleh maskapai penerbangan, sehubungan dengan itu perlu adanya penegakan hukum.

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan didasari oleh suatu keadaan dimana dunia penerbangan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga undang undang yang telah ada dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 juga didasari oleh suatu keharusan untuk mentaati hukum internasional di bidang penerbangan. Indonesia merupakan salah satu negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization, disingkat ICAO) sebagaimana tercantum dalam konvensi Chicago 1944 beserta Annexes dan dokumen-dokumen teknis operasional serta konvensi-konvensi internasional terkait lainnya.

(2) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 dikeluarkan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, khususnya mengenai keamanan dan keselamatan penerbangan.

(3) Tanggung Jawab Perusahaan Maskapai penerbanganan Udara Terhadap Penumpang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, maskapai penerbangan di Indonesia memiliki beberapa tanggung jawab terhadap penumpang, ketentuan ini diatur dalam Pasal 140 dan Pasal 141.

Tanggung jawab yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 di atas hanya menentukan bentuk-bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan sedangkan persyaratan untuk dapat dipertanggungjawabkan, cara penerapannya dan besaran ganti ruginya tidak diatur. Bentuk tanggung jawab perusahaan maskapai penerbanganan udara terdiri dari tanggung jawab terhadap kematian atau luka-luka penumpang.

Mengingat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 ketentuan tentang tanggung jawab maskapai penerbangan hanya bersifat pokok atau umum maka diperlukan aturan-aturan yang lebih jelas dan terinci, dengan demikian diperlukan pengaturan yang bersifat operasional atau secara lebih teknis. Sehubungan dengan itu maka di keluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga bentuk tanggung jawab perusahaan angkutan udara niaga, yaitu: Tanggung jawab terhadap penumpang; Tanggung jawab maskapai penerbangan terhadap barang dan Tanggung jawab terhadap keterlambatan.

Dalam Ordonansi Maskapai penerbanganan Udara 1939 ketentuan tentang tanggung jawab maskapai penerbangan termuat di dalam bab III, bab ini merupakan inti atau pokok-pokok dari peraturan ini. Menurut ketentuan Pasal 24 Ordonansi Maskapai penerbanganan Udara 1939 di atas ada dua bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan udara, yaitu tanggung jawab terhadap kematian dan tanggung jawab terhadap luka-luka yang dialami penumpang. Menurut Konvensi Warsawa 1929, para pihak yang dapat melakukan penuntutan adalah ahli waris yang sah dari korban yang meninggal dunia. Dengan demikian, ketentuan menurut ordonansi lebih sempit jika dibandingkan dengan Konvensi Warsawa.



Persyaratan Berlakunya Tanggung Jawab Perusahaan Maskapai penerbanganan Udara Sebagai Maskapai Penerbanganan

(1) Adanya Kecelakaan Pesawat Terbang.

Menurut Annex 13 Konvensi Chicago 1944 dikenal dua pengertian kecelakaan pesawat udara, yaitu kecelakaan (accident) dan kejadian (incident). Kecelakaan (accident) adalah suatu peristiwa yang terjadi di luar dugaan manusia yang berhubung dengan pengoperasian pesawat udara yang berlangsung sejak penumpang naik pesawat udara (boarding) dengan maksud melakukan penerbangan ke tempat tujuan sampai semua penumpang turun (de-embarkasi) dari pesawat di bandar udara. Pengertian kejadian atau insiden pesawat terbang adalah peristiwa selain kecelakaan yang terjadi selama penerbangan berlangsung yang berhubungan dengan pengoperasional yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan (Annex13 Konvensi Chicago 1944).

(2) Tanggung Jawab Perusahaan Maskapai Penerbanganan terhadap Keterlambatan Penerbangan

Secara harfiah keterlambatan berarti tidak tepat atau tidak sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, atau dapat juga diartikan kemunduran jadwal. Dikaitkan dengan kegiatan penerbangan, maka dapat dikemukakan bahwa keterlambatan penerbangan (delay) adalah suatu keadaan dimana penerbangan tidak sesuai dengan waktu keberangkatan pesawat dari Bandar udara menuju Bandar udara tujuan. Dalam sejarah penerbangan di negeri ini tidak banyak perkara di pengadilan yang berkaitan dengan keterlambatan penerbangan.

Upaya Hukum Ditempuh oleh Penumpang yang Mengalami Kerugian di Indonesia.

(1) Ganti rugi dalam hal terjadi kecelakaan pesawat

Mengenai besarnya ganti rugi sehubungan dengan luka-luka atau meninggalnya penumpang di atur dalam pasal 30 OPU 1939 yang menyatakan: (1) Pada maskapai penerbanganan penumpang tanggung jawab maskapai penerbangan terhadap tiap-tiap penumpang atau terhadap keluarganya seluruhnya yang disebut dalam pasal 24 ayat (2), dibatasi sampai jumlah 12.500 gulden. Bila ganti rugi ditetapkan sebagai bunga, maka jumlah uang pokok yang dibungakan itu tak boleh melebihi jumlah tersebut di atas. Akan tetapi penumpang dapat mengadakan perjanjian khusus dengan maskapai penerbangan untuk meninggikan batas tanggung-jawab itu. Dalam perkembangan kegiatan transportasi udara niaga ketentuan Pasal 30Ordonansi Maskapai Penerbanganan Udara 1939 tersebut telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011.

(2) Ganti Rugi Terhadap Keterlambatan Penerbangan

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 selain mengatur tanggung jawab perusahaan maskapai penerbanganan udara terhadap penumpang berkenaan dengan kematian atau luka-luka penumpang dan tanggung jawab terhadap barang, yang mana undang-undang menentukan besaran nilai ganti ruginya, di dalam peraturan ini juga diatur tanggung jawab perusahaan maskapai penerbanganan udara terhadap keterlambatan penerbangan.

Di dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 tahun 2015 pada pasal 2 dijelaskan bahwa keterlambatan penerbangan pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal terdiri dari: keterlambatan penerbangan (flight delayed); tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passenger); dan pembatalan penerbangan (cancelation of flight).

Pada pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 tahun 2015 keterlambatan penerbangan dikelompokkan menjadi 6 kategori keterlambatan.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan keterlambatan suatu penerbangan. Adapun penyebab keterlambatan menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 tahun 2015 yaitu: faktor manajemen airline, faktor teknis operasional, faktor cuaca, dan faktor lain-lain.

(3) Perlindungan Asuransi bagi Penumpang

Secara yuridis asuransi penerbangan pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.

(4) Penyelesaian Sengketa Konsumen

Penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pada Pasal 45.

(5) Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan

Ketentuan mengenai penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, diatur pada Pasal 47. Dalam memilih penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat dilakukan melalui beberapa model penyelesaian sengketa, diantranya melalui Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, atau melalui Direktorat Perlindungan Konsumen atau lokasi-lokasi lain baik untuk kedua belah pihak yang telah disetujui.

(6) Penyelesaian Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

BPSK adalah institusi non struktural yang memiliki fungsi sebagai “institusi yang menyelesaikan permasalahan konsumen di luar pengadilan secara murah, cepat dan sederhana”. Badan ini sangat penting dibutuhkan di daerah dan kota di seluruh Indonesia.

(7) Perlindungan Hukum Penumpang Transportasi Udara Niaga di Negara –negara Uni Eropa.

Perlindungan hukum terhadap para penumpang transportasi undara niaga di negara Uni Eropa diatur di dalam EC Regulation 261/2004. Peraturan Komisi Eropa 261/2004 berlaku untuk penumpang yang memiliki tiket yang masih berlaku dan konfirmasi pemesanan, penumpang yang memulai perjalanan mereka di bandara Uni Eropa, atau mendarat di bandara Uni Eropa, asalkan maskapai tersebut berkantor pusat di Uni Eropa.

Peraturan Uni Eropa diberlakukan untuk melindungi penumpang dari ketidaknyamanan yang disebabkan oleh waktu tunggu yang lama atau pembatalan penerbangan, yang dapat dicegah oleh maskapai penerbangan. Ini adalah putusan yang dinyatakan secara lengkap: “Regulation (EC) No 261/2004 of the European Parliament and of the Council of 11 February 2004 menetapkan aturan umum tentang kompensasi dan bantuan untuk penumpang dalam hal penolakan boarding dan pembatalan atau penundaan penerbangan yang lama. penundaan penerbangan.”

Peraturan UE 261/2004 berkaitan dengan hak penumpang yang mengalami penundaan atau pembatalan penerbangan, over booking atau ditolak boarding.

Penumpang di Uni Eropa berhak atas kompensasi dalam kasus-kasus seperti penundaan, pembatalan, overbooking, dan ketinggalan penerbangan lanjutan. Jumlah kompensasi tergantung pada jarak penerbangan –bukan pada jumlah yang penumpang bayarkan untuk tiket.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa penumpang benar-benar memiliki klaim kompensasi yang valid. Solusi logisnya adalah membuat klaim kompensasi penumpang dengan flight right. Penumpang hanya perlu memasukkan detail penerbangan ke dalam kalkulator kompensasi gratis, konfirmasikan bahwa penumpang memiliki klaim yang valid terhadap maskapai, dan airline akan mengurus sisanya.

Mulai 1 Januari 2021, aturan Uni Eropa tentang hak penumpang udara tidak berlaku untuk kasus penolakan boarding, pembatalan, atau penundaan penerbangan dari Inggris ke UE jika penerbangan dioperasikan oleh maskapai Inggris atau maskapai non-UE lainnya, bahkan jika penumpang memesan penerbangan sebelum tanggal ini. Namun, aturan UE terus berlaku mulai 1 Januari 2021 jika penerbangan Anda dari Inggris ke UE dioperasikan oleh maskapai UE, kecuali penumpang telah menerima kompensasi atau tunjangan berdasarkan undang-undang Inggris.

Uni Eropa berarti 27 negara Uni Eropa, termasuk Guadeloupe, Guyana Prancis, Martinik, Pulau RĂ©union, Mayotte, Saint-Martin (Antillen Prancis), Azores, Madeira, dan Kepulauan Canary (tetapi bukan Kepulauan Faeroe). Aturan Uni Eropa juga berlaku untuk penerbangan ke dan dari Islandia.

Peraturan Uni Eropa saat ini mencakup semua moda transportasi dan terdiri dari undang-undang khusus moda untuk perjalanan melalui udara, kereta api, lintas air, bus, dan pelatih. Sepuluh hak inti, yang ditemukan dalam Komunikasi Komisi tentang visi Eropa untuk penumpang yang diadopsi pada tahun 2011, didasarkan pada tiga prinsip: non-diskriminasi; informasi yang akurat, tepat waktu dan dapat diakses; bantuan segera dan proporsional.

Pada tahun 2018, Pengadilan Auditor Eropa telah merekomendasikan harmonisasi dan penyederhanaan lebih lanjut kerangka kerja Uni Eropa tentang hak-hak penumpang. Dalam Strategi Mobilitas Berkelanjutan dan Cerdasnya, Komisi juga telah berkomitmen untuk meninjau peraturan yang ada untuk memastikan ketahanannya terhadap gangguan perjalanan yang luas dan menyertakan opsi untuk tiket multimoda. Selain itu, hak penumpang penyandang disabilitas dan penyandang disabilitas juga merupakan tindakan yang tercantum dalam Strategi Disabilitas UE 2021-2030.

Jika penumpang tidak puas dengan tanggapan maskapai, maka dapat meneruskan klaim kompensasi ke National Enforcement Body, yang akan mencari penyelesaian dengan maskapai atas nama penumpang.

Dalam hukum positif Indonesia terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan hukum terhadap penumpang transportasi udara niaga berjadwal, peraturan tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan, Ordonansi Penerbangan 1939 atau OPU 1939;Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara; Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang keamanan dan keselamatan Penerbangan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 tahun 2015. Demikian juga dengan Negara Uni Eropa, juga terdapat peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan hukum terhadap penumpang transportasi udara niaga berjadwal, peraturan tersebut adalah EC Regulation 261/2004.

Terhadap penumpang transportasi udara di Indonesia yang merasa atau mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan atau klaim kepada perusahaan penerbangan, penyelesaian gugatan atau sengketa dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu jalur pengadilan dan jalur di luar pengadilan. Kedua model penyelesaian sengketa tersebut diakui di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen bebas untuk memilih model penyelesaian sengketanya. Di Uni Eropa penumpang transportasi udara yang mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan atau klaim kepada perusahaan penerbangan, penyelesaian gugatan atau sengketa dapat ditempuh melalui National Enforcement Body.

Perlindungan hukum terhadap pengguna jasa transportasi di Indonesia dengan Uni Eropa hampir sama, yang berbeda hanya jumlah uang atau jenis barang kompensasi yang harus diberikan kepada penumpang yang dirugikan oleh maskapai penerbangan.

Dalam rangka untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap pengguna jasa transportasi maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang kegiatan penerbangan, sebab produk-produk hukum yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Selain faktor usia peraturan hal mendesak untuk dilakukan perbaikan adalah aturan mengenai jumlah nilai ganti rugi, sebab nilai ganti rugi yang ditentukan di dalam undang-undang di Indonesia sangat kecil, kemudian undang-undang tidak secara tegas memberikan sanksi hukum bagi maskapai penerbangan yang melakukan penundaan penerbangan. Untuk itu diperlukan aturan sanksi bagi maskapai penerbangan yang menunda penerbangan tanpa alasan yang jelas yang dibenarkan oleh undang-undang.

Di Indonesia prosedur untuk mengajukan kompensasi terhadap klaim penumpang masih kurang jelas dan tidak ada badan yang membantu konsumen apabila pihak maskapai mangkir dalam membayar uang kompensasi terhadap klaim penumpang. Di Indonesia perlu ada suatu badan/lembaga yang fungsinya mirip seperti National Enforcement Body yang mampu memberikan jaminan law enforcement kepada maskapai yang mangkir terhadap kewajibannya kepada klaim penumpang yang merasa dirugikan.


Penulis: I Gde Oka Suparyana (Inspektur Navigasi Penerbangan)
Gambar oleh appinventiv dan shutterstock/peopleimages-yuri a

Category: articles
Pemeriksaan keamanan penerbangan adalah prosedur guna mewujudkan keamanan dan keselamatan penerbangan. Pemeriksaan barang bawaan secara manual dengan sistem acak sejumlah 10 % terhadap seluruh barang bagasi tercatat maupun bagasi kabin adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai regulasi keamanan penerbangan, akan tetapi berdasarkan hasil pengawasan dilapangan ditemukan bahwa pemeriksaan keamanan penerbangan secara acak belum konsisten dilaksanakan. Dengan menggunakan sistem penghitung acak akan membantu memastikan terlaksananya pemeriksaan acak secara konsisten, karena dengan sistem penghitung acak maka petugas pemeriksa akan tahu kapan saatnya melaksanakan pemeriksaan acak harus dilakukan. Peneliti menggunakan metode kuantitatif yang mencakup bahan dan alat, blok diagram, prinsip kerja alat, flowchart dan perancangan alat. Hasil ujicoba dengan metode ini menunjukan hasil yang memuaskan, petugas pemeriksa tidak perlu menghitung secara manual untuk menentukan bagasi mana yang harus diperiksa.

Keywords: Keamanan penerbangan; Pemeriksaan acak; Pemeriksaan manual

Jurnal ini telah diterbitkan di TELSINAS
Universitas Pendidikan Nasional


Untuk membaca lebih lengkap silakan terlebih dahulu download jurnal: Klik sini atau klik icon pdf

Detail dari proyek ini dapat dilihat Di sini
Category: articles
Kejahatan berupa melakukan perbuatan asusila bukan hal yang baru dalam dunia penerbangan, bahkan kejahatan asusila telah terjadi didalam pesawat selama penerbangan. Akan tetapi sebagian kejahatan perbuatan asusila selama penerbangan pada akhirnya banyak yang berakhir damai. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengetahui bagaimanakah ketentuan pidana terhadap kejahatan berupa melakukan perbuatan asusila selama penerbangan. Tujuan dari penelitian untuk mengetahui ketentuan pidana terhadap kejahatan berupa melakukan perbuatan asusila selama penerbangan. Pendekatan penelitian adalah yuridis normatif, pendekatan yuridis normatif adalah jenis pendekatan dalam penelitian hukum yang mengkaji hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang menjadi patokan berperilaku manusia. Penelitian ini akan berusaha menemukan kebenaran koherensi, yaitu apakah aturan hukum sesuai dengan norma hukum dan apakah norma hukum yang berisi mengenai kewajiban dan sanksi tersebut sesuai dengan prinsip hukum. Adapun hasil penelitian ini adalah dalam Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 belum mengatur ketentuan pidana terhadap kejahatan perbuatan asusila selama penerbangan.


Jurnal ini telah diterbitkan di Jurnal Hukum Saraswati (JHS)
Universitas Mahasaraswati Denpasar
ISSN : 2715-758X (cetak), ISSN : 2720-9555 (online)

Untuk membaca lebih lengkap silakan download jurnal dengan klik sini atau klik icon pdf
Category: articles
Desa Wisata Sangeh adalah salah satu desa wisata di Kabupaten Badung yang memiliki berbagai potensi wisata yang masih bisa dikembangkan dan dioptimalkan. Salah satu permasalahan Desa Wisata adalah terkait pengelolaan sampah di tempat wisata. Sampah organik dan anorganik tentunya harus dipisah agar mudah untuk dikelola kembali dan tidak mencemari lingkungan. Pascasarjana Universitas Ngurah Rai melakukan PKM bermitra dengan DTW Sangeh (Taman Mumbul dan Alas Pala) yang mengundang Bendesa Adat Sangeh dan Perbekel Desa Adat Sangeh dalam berdiskusi dengan peserta Pengabdian terkait permasalahan yang ada dalam pengelolaan Desa Wisata Sangeh. Maka dalam kesempatan tersebut Pascasarjana Universitas Ngurah Rai selain melakukan bersih-bersih lingkungan dengan melakukan pemilahan sampah berbasis sumber juga menyerahkan 2 buah tong sampah yang dapat dipergunakan ditempat wisata Sangeh.


JADMA (p-ISSN ), (e-ISSN 2774-7824)
Jurnal ini telah diterbitkan di Jurnal Abdi Dharma Masyarakat (JADMA)
Universitas Mahasaraswati Denpasar

Untuk membaca lebih lanjut silakan download jurnal dengan klik sini atau klik icon pdf
Category: articles
Untuk penerbitan kirimkan artikel, jurnal, opini maupun karya tulis sobat aviasi ke xpapjo@gmail.com
wa